Seorang remaja lelaki berinisial F, yang dikenal dengan sapaan Seringkut, menjadi sorotan publik setelah videonya menyalakan petasan ke arah seorang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, beredar luas di media sosial.
Video berdurasi singkat itu memperlihatkan aksi yang dinilai membahayakan dan merendahkan martabat ODGJ. Unggahan tersebut segera memantik reaksi keras dari warganet. Sejumlah akun media sosial mengecam tindakan itu dan menyebutnya sebagai perbuatan tidak berperikemanusiaan.
Seorang pengguna Facebook bernama Fina-fina menulis komentar bernada keberatan. Ia mengingatkan bahwa ODGJ juga merupakan bagian dari masyarakat dan memiliki keluarga. “Jangan sebarang, ini saudara kami. Beruntung tidak langsung didatangi keluarga,” tulisnya.
Komentar serupa disampaikan akun Konco, yang menilai tindakan tersebut justru memperburuk kondisi psikologis korban. Ia menyebut aksi itu dapat memicu amarah keluarga dan masyarakat sekitar serta menimbulkan risiko kekerasan lanjutan.
Kecaman lebih keras datang dari akun Geby Drlfano, yang menilai peristiwa tersebut berpotensi masuk ranah pidana. Ia menyebut adanya unsur perintah dalam video yang beredar dan mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut kasus tersebut.
Sementara itu, akun Lambertus Uki Gahar dalam bahasa Manggarai menyesalkan tindakan perekaman dan penyebaran video yang dinilainya tidak beretika dan mempermalukan korban.
Permintaan Maaf
Setelah video itu viral, Fempi akhirnya menyampaikan permintaan maaf melalui sebuah rekaman video. Dalam pernyataannya, ia mengaku melakukan tindakan tersebut dalam kondisi mabuk setelah mengonsumsi minuman keras tradisional.
Ia menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada ODGJ bernama Nelis serta kepada keluarga korban yang berasal dari Pagal. Dalam video tersebut, Fempi menyatakan penyesalannya dan berharap permintaan maafnya dapat diterima.
“Saya minta maaf kepada Bapak Nelis dan seluruh keluarga. Saat itu saya dalam kondisi mabuk. Sekarang saya sadar dan menyesal,” ujarnya dalam bahasa Manggarai, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari aparat kepolisian terkait tindak lanjut atas peristiwa tersebut. Namun, kasus ini kembali membuka perbincangan publik mengenai perlindungan terhadap ODGJ serta tanggung jawab hukum atas tindakan perundungan dan kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang direkam dan disebarkan melalui media sosial.
